Mata Pelajaran

Sabtu, 20 Februari 2010

”Lulus”, No matter it cost..

Minggu-minggu ini adalah minggu yang berat bagi Erdi, siswa kelas 3 SMP sekolah swasta di Depok. tiga hari mengikuti UN, dengan pengawasan yang ketat, lalu masih harus mengikuti serangkaian uji praktek dan tes-tes lainnya. Galau, sebuah pertanyaan menggelitik benaknya.

“Lulus”, tiba-tiba menjadi kata yang begitu magis akhir-akhir ini. Kata ini telah membuat hampir seluruh siswa kelas enam dan tiga jenjang pendidikan dasar, dan menengah sulit tidur, para orang tua harap-harap cemas, para pendidik, merasa khawatir atas bekal pengetahuan yang berikan pada anak didiknya.
“Lulus” artinya telah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan, bisa segera melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan segudang makna lainnya.
Lalu, seberapa penting kelulusan bagi siswa, orang tua dan sekolah? Pertanyaan ini muncul ketika pemerintah mulai menerapkan standarisasi batas minimal kelulusan berdasarkan mata pelajaran-mata pelajaran tertentu.
Berbagai ekspresi ketidak setujuan bermunculan didukung oleh berbagai argumentasi. Sikap setuju atau menolak terhadap suatu kebijakan merupakan sebuah dinamika wajar, apalagi isu yang mengemuka berkaitan dengan arah kebijakan di bidang pendidikan. Sebuah isu yang sangat sensitif di negara kita bahkan di berbagai belahan dunia lainnya.
Namun ada baiknya sebelum kita menentukan sikap, kita telaah dulu permasalahan ini secara jernih. Lepaskan semua kepentingan hegemonial, rasa stres, marah, curiga terhadap perubahan ini.
Siswa atau orang tua bahkan sekolah tentu ingin segala upaya yang telah dilakukan berbuah manis. Setelah bergelut dalam sebuah institusi pendidikan selama termin waktu tertentu, hari, minggu bulan dan tahun dilampaui, pelajaran-demi pelajaran dituntaskan, perubahan demi perubahan terhadap sikap, attitude, apresiasi pengetahuan, keterampilan diperolah rasa-nya pantas untuk memperoleh sebuah pengakuan bahwa kita telah “lulus” dan mulai menapak sebuah dunia baru.
Namun apakah termin waktu itu harus merupakan sebuah bilangan absolut, 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SLTA. Jika ya, apakah itu menjamin bahwa anak didik telah siap menghadapi lingkungan real. Sebuah dunia dimana anak mungkin akan menghadapi banyak kegagalan. Berapa perbandingan PTN dengan jumlah siswa yang mencoba memasukinya?, Berapa besar lapangan kerja yang tersedia?. Berapa besar kemampuan orang tua menyekolahkan anaknya di PTS atau lembaga pendidikan non formal?.
Demi meningkatkan presentasi kelulusan, sebuah sekolah rela mengambil jalan pintas dengan berbagai cara bahkan melakukan mall praktek. Memberikan kunci jawaban, mengoreksi kembali lembar jawaban peserta, serta beberapa modus kecurangan lainnya mewarnai pelaksanaan UN dari tahun-ke tahun. Nilai yang tertanam pada peserta didik adalah bahwa sebuah keberhasilan dapat dicapai secara instan, tampa harus bekerja keras. Sebuah upaya dehumanisasi dan demoralisasi institusi pendidikan yang seharusnya steril dari hal-hal tersebut.
Sistem pendidikan terinstitusi menuntut sebuah standar minimum. Idealnya sekolah memiliki otoritas dalam menilai tingkat keberhasilan siswanya. Pertanyaan yang muncul sebenarnya bukan apakah sekolah mampu meluluskan siswanya, melainkan apakah sekolah mampu “tidak” meluluskan siswanya?. Nilai minimum 7 atau 7,5 pun dapat dengan mudah dilewati meski nilai tersebut hasil katrolan. Satu lagi budaya permisif yang tidak seharusnya hidup di lingkungan pendidik.
Harus diakui banyak kendala baik yang bersifat kultural karena masyarakat kita belum terbiasa dengan kata “tidak lulus”, kendala psikologis akibat beban yang dianggap terlalu berat untuk menerima sebuah kegagalan, serta alasan ekonomi mengenai biaya pendidikan yang masih harus ditanggung untuk mengulang sekolah.
Untuk sebuah perubahan yang lebih baik memang perlu pengorbanan, resiko itu telah diambil melalui sebuah kebijakan yang dianggap kontraversial. Sikap sekolah dan birokrat daerah yang menolak standarisasi pendidikan melalui UN, mungkin sebagai upaya mengkritisi arah kebijakan yang dianggap salah, atau barangkali juga sebagai upaya mengurangi tekanan masyarakat dengan menunjuk kambing hitam dari resistensi masyarakat yang gencar terhadap kebijakan ini.
Meski demikian, sentralisasi pendidikan dalam hal kelulusan memang harus mulai dilepaskan ke sekolah-sekolah setelah sekolah mampu secara obyektif melakukan penilaian terhadap kemampuan anak didiknya.
Yang ingin penulis sampaikan di sini adalah, dengan segala keterbatasannya kebijakan pemerintah dalam hal standarisasi kelulusan telah berada pada alur yang benar. Seperti sebuah pepatah “Kegagalan adalah sukses yang tertunda”, Justru kegagalanlah yang membuat keberhasilan terasa labih manis dan berarti. Disamping itu, lebih baik mengetahui bahwa kualitas pendidikan kita mungkin rendah daripada berkubang dalam ilusi dan ketidak-tahuan tentang mutu pendidikan kita yang sebenarnya. Setidaknya kita tahu darimana kita harus memulai.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar